TRIBUNNEWS.COM – Bila Louis XIV (1638-1715), Raja Perancis (1643-1715), berkata, "L'etat c'est moi" (negara adalah saya), maka Suhendra Hadikuntono pun bisa berkata, "Musuh negara adalah musuh saya."
Itu terjadi karena begitu cintanya mereka pada negara. Bedanya, bila Louis XIV seorang bangsawan, Suhendra hanyalah seorang anak jalanan yang kebetulan membaca buku.
Bedanya lagi, bila kecintaan Louis XIV itu dilakukan dengan menguasai negara, bahkan negara diidentikkan dengan dirinya, Suhendra mengejawantahkan kecintaannya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan mewakafkan dirinya sebagai anak bangsa yang siap memerangi musuh-musuh negara, terutama para koruptor, dan lebih spesial lagi koruptor-koruptor yang bercokol di tubuh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Untuk melawan mereka, Suhendra pun mendirikan Komisi Perubahan Sepak Bola Nasional (KPSN) pada 11 Oktober 2018.
Menurut Suhendra, KPSN didirikan atas dasar keprihatinan yang mendalam atas prestasi sepak bola nasional yang tidak mampu bersaing baik di tingkat regional maupun dunia, dan salah satu penyebabnya adalah maraknya praktik match fixing atau skandal pengaturan skor pertandingan.
Adapun misi KPSN, jelas Suhendra, adalah memberantas match fixing dan melakukan perubahan terhadap Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) ke arah yang lebih baik, demi mengembalikan PSSI ke khittah atau tujuan kelahirannya pada 19 April 1930 di Yogyakarta, yakni sebagai alat pemersatu bangsa dan sarana menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain yang lebih maju melalui prestasi sepak bola nasional.
KPSN pun menginisiasi operasi mundurnya Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi, atau lebih dikenal dengan "Operasi Bidakara", dilanjutkan pemberantasan match fixing dengan menggandeng Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri sehingga terbitlah Sprin/4976/X/2018/Bareskrim tertanggal 29 Oktober 2018 yang merupakan cikal-bakal lahirnya Satuan Tugas (Satgas) Antimafia Bola Polri pada 21 Desember 2018. Hingga Satgas berakhir masa tugasnya, 21 Juni 2019,
KPSN berhasil "mengantarkan" 17 orang sebagai tersangka, termasuk mantan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum PSSI Joko Driyono. Dua agenda besar itu sukses di tangannya.
Kedua agenda itu adalah gabungan operasi politik dan hukum. "Saya melihat PSSI rawan ditunggangi sebagai alat politik karena olah raga yang paling banyak penggemarnya dan militan di dunia adalah sepak bola, yakni sekitar 30 juta massa mengambang. Di situ, ER adalah pintu masuk 02 floating mass (massa mengambang). Ini alhamdulilah berhasil kita netralkan," terangnya.
"Sedangkan agenda hukumnya adalah pemberantasan mafianya itu sendiri," tambahnya.
Suhendra, Anak Jalanan yang Kebetulan Baca Buku.
Comments
Post a Comment