Sebelumnya, Pemerintahan Jokowi-JK mematok asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar 15.000 per dolar AS. Angka ini berubah dari Rancangan APBN-2019 sebesar 14.00 per dolar AS.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Alviliani, mengatakan bahwa nilai tukar rupiah pada tahun ini memang sulit untuk diprediksi. Sebab, kondisi perekonomian global yang terus bergejolak membuat nominal mata uang Garuda ini cenderung terus bergerak.
"Satu hal terkait dengan rupiah. rupiah saat ini sedang cenderung menguat terus ya. Jadi ini juga satu hal yang perlu kita cermati apakah akan terus menguat, keliatannya belum bisa kita pastikan," kata dia dalam acara Dialog Ekonomi Perbankan, di Jakarta, Rabu (30/1/2019).
Aviliani mengatakan, penguatan rupiah yang terjadi saat ini karena didorong berbagai faktor. Salah satunya melalui aliran modal dana asing yang masuk ke Indonesia cukup deras. Namun, dirinya meragukan, penguatan ini tidak akan berlangsung lama.
"Tapi apakah nanti setelah April ini akan terus menguat? artinya bahwa kita harus mengasumsikan nilai tukar rupiah ini lebih cenderung punya namanya antara, jadi jangan sampai pada satu angka, tidak bisa juga kita liat 14.000 per dolar AS ini seterusnya. Tapi kita harus bisa membuat range antara 14.000 per dolar AS hingga Rp 15.000 per dolar AS," jelasnya.
Aviliani menekankan, untuk menjaga kondisi penguatan rupiah pemerintah bersama Bank Indonesia perlu melakukan beebagai langkah. Caranya dengan mengkonversikan rupiah kepada beberapa mata uang negara asal tujuan. Artinya tidak hanya berfokus pada satu mata uang yakni dolar AS.
"Kita perlu cermati mungkin yen, yuan, euro di mana transaksi dagang kita termasuk pinjaman kita banyak yen ke Jepang, tapi belum dikonversi ke yen. Ini salah satu cara menyeimbangkan mata uang kita," pungkasnya.
Rupiah Mampu Menguat karena Pelemahan Dolar AS.
Comments
Post a Comment